Sekilas Info

Senin, 07-12-2020

- 4 bulan yang lalu/ Pelaksanaan MPLS SMKN 1 BOGOR via Video Conference ( Google Meet ) - 7 bulan yang lalu/ Pelaksanaan PBM di rumah serta pelaksanaan tugas pengawas sekolah, kepala sekolah, kasubbag tata usaha sekolah, guru, dan tenaga kependidikan diperpanjang sampai dengan tanggal 29 Mei 2020; - 7 bulan yang lalu / Kepada Siswa – Siswi SMKN 1 BOGOR Kelas XII dapat langsung mengunduh SKL di laman http://portal.smkn1bogor.sch.id , dengan cara login terlebih dahulu “The ISO 14001 : 2015 and ISO 45001 : 2018” Certification

SMKN 1 BOGOR

Jl. Heulang No. 6, Tanah Sareal, Kota Bogor, Jawa Barat 16161

 

3 JURUS AMPUH DARI KI HADJAR DEWANTARA




Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat dikenang sebagai sosok seorang tokoh pergerakan yang focus terhadap dunia pendidikan seutuhnya.

Sosok yang lahir pada 2 Mei 1889 yang kemudian lebih dikenal dengan Ki Hadjar Dewantara ini memiliki sudut pandang tentang pendidikan yang bermula dari anak.

Buah-buah pemikiran beliau selalu berangkat dari suatu peristiwa nyata yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan sekitar kita. Betapa tidak, beliau meyakini, bahwa setiap proses kelahiran selalu menghadirkan campur tangan dari Tuhan, menurut beliau “bayi dilahirkan di dunia telah diberi bekal sarat dan alat hidup yang serba lengkap, tetapi belu semua dalam keadaan sempurna”.

Maka dari situlah pendidikan mulai ditanamkan. Beliau selalu menekankan bahwa mendidik anak harus dengan cara yang menyenangkan. Karena anak menjadai fokus pendidikan, maka Ki Hadjar mengangkat kembali metode salisworo (sariswara)  untuk anak-anak, cara mendidik anak itu dengan metode salisworo, definisinya salisworo ini sastra tapi dilakukan, dilengkapi dengan oleh olah gerak diikuti oleh iringan.

Jadi semua digabungkan maka munculah iromo, iromo dalam kategori Ki Hajar ini menggabungkan irama, sastra dalam bentuk lagu, dimainkan oleh anak-anak (kumparan.com 24/11/2018).

Permainan gerak dan lagu menjadi sesuatu yang penting dalam hal ini, karena berpengaruh terhadap munculnya ketajaman pikiran, kehalusan rasa, serta kekuatan kemauan. Artinya Pendidikan itu sudah setua usia manusia ketika manusia mulai bertahan hidup dan mempertahankan hidup dengan membangun peradabannya.

Mendidik anak itu sama dengan mendidik masyarakat karena anak itu bagian dari masyarakat. Mendidik anak berarti mempersiapkan masa depan anak untuk berkehidupan lebih baik, demikian pula dengan mendidik masyarakat berarti mendidik bangsa ( Dewantara I, 2004).

Dengan sendirinya, sistem pendikan dan pengajaranlah yang  harus menjadi pangkal yang pertama bagi terpeliharanya hidup berbangsa dan berbudaya. Saat ini pendidikan Indonesia mulai melupakan esensi pendidikan untuk anak, termasuk mengajarkan pendidikan budi pekerti dan karakter.

Jika kita cermati praktik pendidikan sekarang, tujuan pendidikan di banyak sekolah justru melupakan esensi anak. Karena pendidikan sekarang berfokus pada “nilai” yang diwakili oleh angka dengan tujuan sebagai standarisasi capaian dalam mata pelajaran tertentu, bukan mengajarkan untuk mengenal kemajuemukan, keberagaman, dan personalisasi dari sifat dan karakteristik yang dibawa masing-masing individu (anak) sejak lahir.

Inklusifitas hanya difokuskan pada sesuatu yang terkait dengan cirri fisik seseorang (difabel), bukan kepada arti yang luas (ekonomi, agama, status sosial).

Pada saat bicara kebijakan pendidikan pun Ki Hajar jelas bicara sekolah di desa, di kota, di pantai dan di sawah, itu sebetulnya harus jadi sekolah dalam bentuk yang berbeda, sesuai dengan potensi yang dimiliki daerah tersebut serta memperhatikan kebutuhan masing-masing daerah, bukan diterjemahkan dalam sebuah penyeragaman kurikulum, capaian nilai, dan lain sebagainya yang terjadi dalam pendidikan formal kita saat ini.

Standarisasi kebutuhan pencapaian nilai menjadi pemicu seseorang untuk saling bersaing mendapatkan niai dengan batas minimal sesuai yang ditentukan sebagai penentu suatu kelulusan. Jika berkaca pada kodrat manusia, manusia dilahirkan beragam sifat, latar belakang dan potensi diri, maka yang seharusnya terjadi adalah memberi fasilitas belajar yang sesuai dengan potensi serta kemampuan masing-masing individu tersebut.

Menurut beliau, jalannya pendidikan pada umumnya dapat bersifat 3 macam, yaitu: pembiasaan (untuk anak kecil), pengajaran dengan mempergunakan pikiran (untuk anak-anak umur 7-14 tahun), dan pendidikan budi pekerti dengan “laku” serta “ilmu” disertai peraturan ketertiban yang lebih keras (disiplin) teristimewa “swa disiplin” untuk anak-anak dewasa hingga 21 tahun.

Pembiasaan menjadi kunci penting, karena segala pembiasaan itu nantinya menjadi kodrat dalam sifatnya, tidak perlu untuk berpikir, tidak perlu merasakan, tidak perlu menggunakan kemauan, maka dengan sendirinya akan berjalan sendiri. Orang yang terbiasa bekerjasama tidak akan menggunakan cara persaingan dalam perilaku kesehariannya.

Yang tidak kalah penting dari ajaran Ki Hadjar Dewantara adalah membagi makna pendidikan menjadi tiga bagian, yang sering disebut sebagai Tri Rahayu.

  1. Hamemayu Hayuning Sariro, yang berarti pendidikan berguna bagi yang bersangkutan, keluarganya, sesamanya, dan lingkungannya. Disini sangat jelas apa arti manusia sebagai makhluk individu dan sosial.
  2. Hamemayu Hayuning Bongso, yang berarti pendidikan berguna bagi bangsa , negara, dan tanah airnya. Butir ini juga ditekankan di panca darma Ki Hadjar dan 10 Pedoman Guru.
  3. Hamemayu Hayuning Bawono, yang berarti pendidikan berguna bagi masyarakat yang lebih luas lagi yaitu dunia atau masyarakat global.

Ibarat bibit dan buah. Pendidik adalah petani yang akan merawat bibit dengan cara menyiangi hulma disekitarnya, memberi air, memberi pupuk agar kelak berbuah lebih baik dan lebih banyak, namun petani tidak mungkin mengubah bibit mangga menjadi berbuah anggur.

Itulah kodrat alam atau dasar yang harus diperhatikan dalam Pendidikan dan itu diluar kecakapan dan kehendak kaum pendidik (asiswanto.net).

Dengan melihat apa yang diajarkan oleh Ki Hadjar, sesungguhnya beliau sudah mengupayakan, mengajak dan melibatkan kita mulai dari sejak dini untuk dapat memajukan kehidupan dengan menumbuhkan budi pekerti (rasa-pikiran, roh) dan raga (badan) dengan pengajaran, teladan dan pembiasaan, tanpa disertai perintah atau paksaan.

Sebagai pentup, pola pendidikan dan pengajaran yang telah didaraskan oleh Ki Hadjar memiliki harapan yang mendalam di masa depan, karena ketika kita mendidik anak sesuai dengan jalan yang patut untuk mereka, maka nisaya di masa tua, mereka akan seturut dengan nilai yang telah dibangun tanpa menyimpang terlalu jauh.

Penerapannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara hendaknya bisa Ngerti berarti mengerti, Ngrasa berarti Merasakan, dan Nglakoni berarti Melakukan.

Jadi, jangan hanya cukup dengan mengerti, tetapi jangan juga hanya cukup merasakan, namun harus melakukan apa yang sudah dibenarkan dan diangap baik oleh akal budi kita. Agar lebih mudah, dimengerti dulu, baru dirasakan, setelah itu dijalankan.

Jangan sampai menjalankan segala sesuatu itu tanpa dipahami lebih dahulu nilai positif dan negatif yang dirasakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KEPALA SEKOLAH SMKN 1 BOGOR